Friday, April 12, 2013

Ciremai 3078 mdpl [chapter 2]


Ciremai (lagi).

Sebenernya saya lebih suka untuk meng-eksplor tempat tujuan baru daripada mengulang destinasi sama yang pernah saya tuju. Tapi ternyata Ciremai membuat saya melakukan pengecualian untuk itu. Berawal dari ajakan 2 teman kantor yang saya anggap sebagai tantangan yang wajib dijawab, dan kegagalan untuk ngesot ke Gunung Salak karena waktu itu pasca terjadinya tragedi Sukhoi yang membuat hampir semua jalur Gunung Salak ditutup sementara, maka kesepakatan bulat untuk ngesot lagi ke Ciremai ditetapkan.

Bulan Mei 2012, dengan rombongan sebanyak 3 orang, sepakat untuk menuju Kuningan pas tengah malam. Salah satu hal yang saya jadikan syarat kalau mau ajak saya (karena mereka belum pernah ke Ciremai sebelumnya), adalah saya nggak mau kalau lewat jalur Apuy lagi, saya pengen nyobain 2 jalur lainnya yang lebih ekstrim #sikap.

Akhirnya kita sepakat untuk memulai pendakian lewat jalur Palutungan dan turunnya lewat jalur Linggarjati. Ada 2 perbedaan yang sangat mencolok dari kedua jalur itu, jalur Palutungan lebih mirip jalur Apuy, lumayan landai dan perlu waktu cukup lama untuk sampai ke puncak. Sedangkan jalur Linggarjati sama sekali jauh dari kata landai, hampir sepanjang jalur ini perlu kondisi dengkul ekstra power dan napas ekstra kuda. Kalau kata pendaki, jalur ini jalur dengkul ketemu jidat, alias nanjak mampus.

Berangkat sekitar tengah malam dari pintu tol Cakung, kita sampai di Kuningan (via turun Cirebon dulu) sekitar jam 8 pagi. Di Kuningan kita sempatin mampir ke workshop fotografinya teman rombongan. Setelah mandi, makan, re-packing carrier, dan hunting model J , kita berangkat ke titik awal pendakian di desa Palutungan. Ngurus administrasi, nggak lama kita mulai naik dengan menyadari bahwa “woy, ini panas banget, kayaknya kita telat banget naiknya, udah jam 11”. Yaudah, bagaimanapun, the show must go on.

Dari Basecamp lalu ke Pos I (1.450 mdpl) perlu waktu yang cukup lama, ini karena matahari terik banget ketika itu dan ternyata kami adalah rombongan paling ekor, di belakang kita ngga ada rombongan lain lagi. Perlu beberapa kali break dan beberapa liter air untuk menghindari terjadinya pingsan mendadak, sumpah, ini pendakian paling menyiksa dalam hidup saya. Teriknya matahari lumayan agak berkurang waktu kami memasuki pintu hutan. Di dalam hutan, sore menjelang maghrib, matahari sudah lewat, tapi sepanjang perjalanan bulu kuduk nggak pernah mau turun. Maklum, Ciremai masuk nominasi 3 besar gunung terangker versi sebuah trit yang pernah saya baca di kaskus bersama Gunung Salak dan Gunung Lawu, dan kami cuma bertiga, ditambah nggak ada lagi rombongan lain yang menemani pemuda-pemuda ini.

Sempat berdebat mau sampai mana perjalanan hari ini diselesaikan, akhirnya setelah saya bilang kalau satu pos setelah pos ini (Pos III – Pangguyangan Badak) adalah Pos IV – Arban yang termasuk dalam salah satu pos yang not recommended karena terkenal dengan ke’usil’an penunggunya, kami sepakat untuk mendirikan tenda dan nge-camp di Pos III. Nggak ada obrolan lagi, setelah buka tenda, hanya secangkir kopi dan beberapa batang rokok terus kami lanjut masuk ke sleeping bag. Gerimis, dingin, gelap, dikelilingi pepohonan besar dan rimbun, dan suara angin yang membuat keadaan semakin spooky.

Oke, konsekuensi dari keterlambatan start nanjak hari kemarin adalah kami harus mengejar waktu untuk summit attack hari berikutnya. Hasilnya hari ini dipaksa harus bisa untuk bangun pagi buta, dan kami mulai lagi ngesot dari Pos III sekitar subuh. Badan sudah recovered, perut sudah kenyang, matahari belum nongol, kami babat habis pos-pos selanjutnya. Beberapa kali (tetep) break, dan beberapa kali ambil napas dalam-dalam karena puncak yang makin kabur oleh kabut, sampailah kami di persimpangan antara jalur Apuy dan jalur Pulutungan. Persimpangan ini cuma berjarak kurang dari sejam menuju Pos terakhir, Goa Walet. Nah karena faktor kesiangan dan buru-buru pengen summit attack, dengan cerobohnya kami lewatkan mampir ke Goa Walet dan langsung menuju puncak. Padahal Goa Walet ini adalah sumber air terakhir yang bisa ditemui sebelum puncak.

Sesampai di puncak, seperti biasa, ini waktunya kamera dan gegayaan. Ternyata bukan cuma rombongan kami aja yang terlambat summit, ada juga beberapa rombongan lain yang masih di puncak pas siang bolong begini. Setelah camera time dan victory drink, kami putuskan untuk lanjut turun via jalur Linggarjati. Dari jalur Palutungan ke jalur Linggarjati berarti harus memutar hampir setengah lingkaran kawah Ciremai. Kami lakukan perjalanan memutar dan turun, dan tibalah beberapa bencana #jeeng

Bencana pertama, satu teman mengalami dehidrasi, dan makin lama makin akut dehidrasinya. Bencana kedua, satu teman yang lain terkilir kakinya. Jadilah saya satu-satunya personel rombongan yang sehat wal afiat, dan saya harus menyesuaikan sisa perjalanan turun dengan kondisi kedua teman saya ini.

Sempat berhenti beberapa kali, akhirnya kami putuskan untuk mengubah rencana perjalanan. Awalnya estimasi kami adalah 2 hari 1 malam untuk perjalanan pergi-pulang. Tapi berhubung kondisi sangat tidak memungkinkan, kita tambah 1 malam lagi di tengah perjalanan turun. Estimasi yang kurang tepat juga terjadi karena manajemen air yang salah. Masing-masing kami sudah membawa 3 botol x 1,5 liter air kemasan untuk satu perjalanan ini, dan itu ternyata salah. Karena kami tidak mengambil air di Goa Walet padahal waktu itu masih ada beberapa botol kosong tersisa.

Yah, jadilah kami buka tenda di pos bayangan, bukan di pos yang sebenarnya, karena keadaan kedua teman ini yang sudah tidak bisa lagi dikompromikan. Sama hal nya -bahkan lebih parah- dengan pengalaman di malam pertama, kita buka tenda di tempat yang benar-benar dafuq banget. Kalau ditanya bagaimana rasanya waktu itu, lebih baik saya tidak ceritakan apa saja yang saya, dan 1 teman saya ini rasakan. Hehe..spooky.

Malam yang dafuq itu akhirnya terlewatkan. Pagi ini kami putuskan untuk meneruskan perjalanan pulang meskipun keadaan dua teman tadi belum sepenuhnya recovered. Logistik yang menipis, terutama persediaan air yang tinggal kurang dari ¼ botol, semakin memaksa kami untuk turun pagi ini juga. Saat inilah, ketika keadaan semakin buruk dengan logistik yang sudah hampir nggak bersisa, logika pun nggak jalan. Logistik mengalahkan logika, memang benar adanya. Air (sorry) pipis yang ditampung buat cadangan air minum, juga memang bukan bualan saja. #survival

Seberuntungnya pendaki adalah mereka yang bertemu dengan pendaki lain dalam keadaan yang lebih baik. Itulah kenapa kami beruntung, karena kami bertemu dengan 2 rombongan di 2 spot yang berbeda, yang mau berbagi logistik dan cerita. Rombongan dari Jawa Barat dan setelah itu bertemu dengan rombongan dari UNDIP, sebelum akhirnya menemukan sumber air yang melimpah walaupun agak jauh melenceng dari jalur pendakian. Setelah di pos ini kami kebut terus sampai pos 1 dan akhirnya bisa mandi, ngopi, dan makan gorengan di warung, dengan partner baru dari Bogor namanya Bang…(lupa).

Kembali lagi ke kota,
Kembali bercinta dengan asap metromini.

     

No comments:

Post a Comment

say whatever..