Friday, January 18, 2013

Ciremai 3078 mdpl [chapter 1]

Ciremai.

Memang nggak seterkenal Rinjani atau Semeru, atau bahkan Kerinci sekalipun. Tapi dengan predikatnya sebagai dataran tertinggi di Jawa Barat, saya sepakat dengan lutut dan napas untuk mendaki gunung ini meskipun musim hujan sedang eksis. Trip ini sebenernya sudah basi buat diceritakan, tapi karena saya pengen cerita ya saya tulis aja. Akhir tahun 2011, atau tepatnya menjelang tahun baru 2012 trip ini berlangsung.

Diawali dari kaskus, saya lalu dapet temen nanjak (lebih tepatnya: ngesot) ke Ciremai beberapa hari sebelum hari keberangkatan. Janjian dengan teman di terminal Sumedang, saya harusnya bertemu dengan rombongan Sumedang + Bandung di sana besok harinya. Skip-skip-skip, gear sudah ready semua dan saya sudah konfirmasi ke lutut dan napas kalau mereka bisa bekerjasama di suhu berapapun, ketinggian berapapun, dan trek seperti apapun. Confirmed !


Berangkat lah saya dari pool bus Primajasa di Cawang, naik bus jurusan Garut dan sampai di Cileunyi sekitar 2,5 jam kemudian. Dari Cileunyi lanjut lagi ke arah Sumedang dengan angkot dan cuaca kurang mendukung. Sebenernya saya cukup familiar dengan rute ini, sehubungan dulu saya pernah mengenyam beberapa hari di Unpad Jatinangor dengan predikat sebagai mahasiswa yang kabur dari kampus beberapa hari setelah pengumuman lulus SPMB, hehe.

Sampai juga di terminal Sumedang, lalu ketemu rombongan lokal yang menyambut saya dengan suka cita.  Setelah 2 orang rombongan Bandung ikut gabung, total 9 orang berangkat ke arah Pasar Maja, Majalengka, untuk lanjut dengan mobil sayur ke titik awal pendakian Ciremai di desa Apuy, 1204 mdpl.

Setelah mengurus administrasi, makan malam, re-packing carrier, dan menyiapkan gear khusus buat perjalanan malam, sekitar jam 20.40 kami mulai nanjak, ehh..ngesot. Sebenernya, saya nggak terlalu suka kalau ngesot malam. Selain nggak cocok sama gelap, ngesot malam juga pasti berhadapan dengan suhu yang lebih rendah daripada siang, binatang resek yang kadang bikin jiper, serta lebih besar kemungkinan hujan turun. Untungnya kali ini kita lewat jalur Apuy, yang kata orang, lebih bersahabat, lebih landai, dan lebih nggak angker dari 2 jalur lainnya, Palutungan dan Linggarjati.

Lalu sampailah kita di Pos 1, Arban, 1.614 mdpl, dengan badan menggigil dan kepala pusing setelah perjalanan Jakarta – Majalengka ditambah ngesot 2 jam. Kita mulai buka tenda di sini, bikin kopi, tanpa ada obrolan panjang langsung semua kompak masuk ke dalam sleeping bag masing-masing, dan 30 Desember selesai.

31 Desember pagi kita lanjutkan perjalanan dari Pos 1, 1.614 mdpl, dengan target Pos VI, 2.950 mdpl, atau pos terakhir sebelum puncak Ciremai. Dengan cuaca mendung dan beberapa kali hujan gerimis, rombongan yang menamakan diri sebagai Gapoktandug (entah apa artinya karena saya juga nggak begitu paham istilah-istilah Sunda, dan celakanya hampir semua rombongan adalah orang Sunda, atau paling nggak bisa bahasa Sunda, terkecuali saya) lanjut terus sampai Pos VI, Goa Walet, yang berhasil SAYA, perhatikan ya, SAYA, bukan KAMI, capai sekitar maghrib (karena yang lain bisa 1 jam sebelumnya sampai di sini).

Dengan napas setengah keluar setengah tertahan di perut, suhu yang sudah jauh di bawah normal, dan oksigen yang sudah menipis karena hampir mencapai 3.000 mdpl, saya kuatkan tekat untuk buang air, cuci muka, bikin tenda, makan malam, ngobrol geje, ngopi, dan lanjut tidur dengan harapan besok pagi bisa summit attack sebelum sunrise. Bersama beberapa tenda lain -yang kebetulan lagi rame waktu itu- dan rombongan yang masih pada punya napas untuk sekedar api unggun-an, saya milih buat tidur dengan campuran bau badan khas pendaki gunung. 31 Desember selesai.

Pos VI - Goa Walet
Pagi berikutnya, 1 Januari 2012, mata terbuka di bawah cuaca yang masih mendung, dan dingin yang nggak berkurang banyak dari semalam. Ada yang terasa aneh pagi ini, kok udah terang ? padahal alarm di jam maupun iPhone saya set jam 4. Yah..harapan tinggal harapan, sunrise nggak bisa nunggu pendaki yang berat di bangun pagi. Akhirnya kita summit attack jam 5.30, butuh perjuangan yang ekstra untuk sekedar menggerakkan badan di tengah hawa dingin.

1 jam diperlukan untuk melewati bebatuan sisa lahar gunung Ciremai demi mencapai puncak. Di atas pun ternyata sudah ramai dengan pendaki lain yang sepertinya ketinggalan sunrise juga. Seperti biasa, kebiasaan melegenda para ngesot-ers sesampai di puncak, 3078 mdpl, bikin victory drink dan minum rame-rame. Kali ini menu victory drink nya hot chocolate, dan meski saya bilang minum rame-rame, tapi gelasnya cuma beberapa aja, sungguh miris.

Puncak Ciremai - 3078 mdpl
Nggak terlalu lama di puncak, kita lalu lanjut turun ke Goa Walet untuk makan siang dan siap-siap turun. Sempat tertunda dan tertahan di dalam goa karena badai yang lumayan parah, kita mulai perjalanan turun sekitar jam 1 siang. Dengan sisa napas dan nutrisi yang ada, kita sampai lah di titik awal pendakian sekitar jam 8 malam. Semua rombongan ikut ke Pasar Maja dan berpisah di titik ini, rombongan Bandung pulang duluan sedangkan saya ikut rombongan Sumedang ke arah Cileunyi.

Tanpa terduga, rupanya bus arah Jakarta via Cileunyi kalau dini hari begini susahnya minta ampun. Saya baru dapet bus arah Jakarta setelah sekitar 2 jam menunggu, dan itupun saya dapet kursi tambahan di koridor bus, tanpa sandaran padahal pinggang ini sudah sangat linu. Sampai Jakarta jam 6 pagi, tanpa unpacking carrier saya lanjut merem, jam 10 bangun dan bergegas ke kantor karena kalau kelamaan tidur lagi berarti potongan gaji saya juga makin besaaaar.

-end-

No comments:

Post a Comment

say whatever..