Ciremai (lagi).
Sebenernya saya lebih suka untuk meng-eksplor
tempat tujuan baru daripada mengulang destinasi sama yang pernah saya tuju.
Tapi ternyata Ciremai membuat saya melakukan pengecualian untuk itu. Berawal
dari ajakan 2 teman kantor yang saya anggap sebagai tantangan yang wajib
dijawab, dan kegagalan untuk ngesot ke Gunung Salak karena waktu itu pasca terjadinya
tragedi Sukhoi yang membuat hampir semua jalur Gunung Salak ditutup sementara,
maka kesepakatan bulat untuk ngesot lagi ke Ciremai ditetapkan.
Bulan Mei 2012, dengan rombongan sebanyak 3
orang, sepakat untuk menuju Kuningan pas tengah malam. Salah satu hal yang saya
jadikan syarat kalau mau ajak saya (karena mereka belum pernah ke Ciremai sebelumnya),
adalah saya nggak mau kalau lewat jalur Apuy lagi, saya pengen nyobain 2 jalur
lainnya yang lebih ekstrim #sikap.
Akhirnya kita sepakat untuk memulai pendakian
lewat jalur Palutungan dan turunnya lewat jalur Linggarjati. Ada 2 perbedaan
yang sangat mencolok dari kedua jalur itu, jalur Palutungan lebih mirip jalur
Apuy, lumayan landai dan perlu waktu cukup lama untuk sampai ke puncak.
Sedangkan jalur Linggarjati sama sekali jauh dari kata landai, hampir sepanjang
jalur ini perlu kondisi dengkul ekstra power dan napas ekstra kuda. Kalau kata
pendaki, jalur ini jalur dengkul ketemu jidat, alias nanjak mampus.
Berangkat sekitar tengah malam dari pintu tol
Cakung, kita sampai di Kuningan (via turun Cirebon dulu) sekitar jam 8 pagi. Di
Kuningan kita sempatin mampir ke workshop fotografinya teman rombongan. Setelah
mandi, makan, re-packing carrier, dan hunting model J , kita berangkat ke titik awal pendakian di
desa Palutungan. Ngurus administrasi, nggak lama kita mulai naik dengan
menyadari bahwa “woy, ini panas banget, kayaknya kita telat banget naiknya,
udah jam 11”. Yaudah, bagaimanapun, the show must go on.
Dari Basecamp lalu ke Pos I (1.450 mdpl) perlu
waktu yang cukup lama, ini karena matahari terik banget ketika itu dan ternyata
kami adalah rombongan paling ekor, di belakang kita ngga ada rombongan lain
lagi. Perlu beberapa kali break dan beberapa liter air untuk menghindari
terjadinya pingsan mendadak, sumpah, ini pendakian paling menyiksa dalam hidup
saya. Teriknya matahari lumayan agak berkurang waktu kami memasuki pintu hutan.
Di dalam hutan, sore menjelang maghrib, matahari sudah lewat, tapi sepanjang
perjalanan bulu kuduk nggak pernah mau turun. Maklum, Ciremai masuk nominasi 3
besar gunung terangker versi sebuah trit yang pernah saya baca di kaskus
bersama Gunung Salak dan Gunung Lawu, dan kami cuma bertiga, ditambah nggak ada
lagi rombongan lain yang menemani pemuda-pemuda ini.
Sempat berdebat mau sampai mana perjalanan hari
ini diselesaikan, akhirnya setelah saya bilang kalau satu pos setelah pos ini
(Pos III – Pangguyangan Badak) adalah Pos IV – Arban yang termasuk dalam salah
satu pos yang not recommended karena terkenal dengan ke’usil’an penunggunya, kami
sepakat untuk mendirikan tenda dan nge-camp di Pos III. Nggak ada obrolan lagi,
setelah buka tenda, hanya secangkir kopi dan beberapa batang rokok terus kami
lanjut masuk ke sleeping bag. Gerimis, dingin, gelap, dikelilingi pepohonan
besar dan rimbun, dan suara angin yang membuat keadaan semakin spooky.
Oke, konsekuensi dari keterlambatan start
nanjak hari kemarin adalah kami harus mengejar waktu untuk summit attack hari
berikutnya. Hasilnya hari ini dipaksa harus bisa untuk bangun pagi buta, dan kami
mulai lagi ngesot dari Pos III sekitar subuh. Badan sudah recovered, perut
sudah kenyang, matahari belum nongol, kami babat habis pos-pos selanjutnya.
Beberapa kali (tetep) break, dan beberapa kali ambil napas dalam-dalam karena
puncak yang makin kabur oleh kabut, sampailah kami di persimpangan antara jalur
Apuy dan jalur Pulutungan. Persimpangan ini cuma berjarak kurang dari sejam
menuju Pos terakhir, Goa Walet. Nah karena faktor kesiangan dan buru-buru
pengen summit attack, dengan cerobohnya kami lewatkan mampir ke Goa Walet dan
langsung menuju puncak. Padahal Goa Walet ini adalah sumber air terakhir yang
bisa ditemui sebelum puncak.
Sesampai di puncak, seperti biasa, ini waktunya
kamera dan gegayaan. Ternyata bukan cuma rombongan kami aja yang terlambat
summit, ada juga beberapa rombongan lain yang masih di puncak pas siang bolong
begini. Setelah camera time dan victory drink, kami putuskan untuk lanjut turun
via jalur Linggarjati. Dari jalur Palutungan ke jalur Linggarjati berarti harus
memutar hampir setengah lingkaran kawah Ciremai. Kami lakukan perjalanan
memutar dan turun, dan tibalah beberapa bencana #jeeng
Bencana pertama, satu teman mengalami
dehidrasi, dan makin lama makin akut dehidrasinya. Bencana kedua, satu teman
yang lain terkilir kakinya. Jadilah saya satu-satunya personel rombongan yang
sehat wal afiat, dan saya harus menyesuaikan sisa perjalanan turun dengan
kondisi kedua teman saya ini.
Sempat berhenti beberapa kali, akhirnya kami
putuskan untuk mengubah rencana perjalanan. Awalnya estimasi kami adalah 2 hari
1 malam untuk perjalanan pergi-pulang. Tapi berhubung kondisi sangat tidak
memungkinkan, kita tambah 1 malam lagi di tengah perjalanan turun. Estimasi
yang kurang tepat juga terjadi karena manajemen air yang salah. Masing-masing kami
sudah membawa 3 botol x 1,5 liter air kemasan untuk satu perjalanan ini, dan
itu ternyata salah. Karena kami tidak mengambil air di Goa Walet padahal waktu
itu masih ada beberapa botol kosong tersisa.
Yah, jadilah kami buka tenda di pos bayangan,
bukan di pos yang sebenarnya, karena keadaan kedua teman ini yang sudah tidak
bisa lagi dikompromikan. Sama hal nya -bahkan lebih parah- dengan pengalaman di
malam pertama, kita buka tenda di tempat yang benar-benar dafuq banget. Kalau
ditanya bagaimana rasanya waktu itu, lebih baik saya tidak ceritakan apa saja
yang saya, dan 1 teman saya ini rasakan. Hehe..spooky.
Malam yang dafuq itu akhirnya terlewatkan. Pagi
ini kami putuskan untuk meneruskan perjalanan pulang meskipun keadaan dua teman
tadi belum sepenuhnya recovered. Logistik yang menipis, terutama persediaan air
yang tinggal kurang dari ¼ botol, semakin memaksa kami untuk turun pagi ini
juga. Saat inilah, ketika keadaan semakin buruk dengan logistik yang sudah
hampir nggak bersisa, logika pun nggak jalan. Logistik mengalahkan logika,
memang benar adanya. Air (sorry) pipis yang ditampung buat cadangan air minum,
juga memang bukan bualan saja. #survival
Seberuntungnya pendaki adalah mereka yang
bertemu dengan pendaki lain dalam keadaan yang lebih baik. Itulah kenapa kami beruntung,
karena kami bertemu dengan 2 rombongan di 2 spot yang berbeda, yang mau berbagi
logistik dan cerita. Rombongan dari Jawa Barat dan setelah itu bertemu dengan
rombongan dari UNDIP, sebelum akhirnya menemukan sumber air yang melimpah
walaupun agak jauh melenceng dari jalur pendakian. Setelah di pos ini kami
kebut terus sampai pos 1 dan akhirnya bisa mandi, ngopi, dan makan gorengan di
warung, dengan partner baru dari Bogor namanya Bang…(lupa).
Kembali lagi ke kota,
Kembali bercinta dengan asap metromini.
No comments:
Post a Comment
say whatever..