Wednesday, May 29, 2013

Dilematisme dan Romantisme Wakatobi

The path to paradise begins in hell. Dante Alighieri

Bagi yang nggak percaya ungkapan di atas, pasti kalian belum pernah traveling ke Indonesia bagian tengah atau timur. Atau kalian adalah turis premium dengan super budget yang maksimal. Karena bagi saya mungkin hanya sebatas Bali atau kalau mau sedikit toleransif ya Lombok, daerah Indonesia tengah yang masih manusiawi. Bahkan lebih ke timur maka lebih nggak manusiawi lagi.

Apanya yang nggak manusiawi ?

Bukan dalam konteks manusianya, tapi transportasinya. Dan yang saya maksud dengan transportasi di sini bukan cuma fasilitasnya, tapi juga rupiahnya.

Bukan rahasia lagi kalau jaman sekarang traveling ke luar negeri menjadi lebih sederhana secara akomodasi dan nominal daripada traveling di negeri sendiri. Ironis ? Enggak juga. Karena memang secara jarak, waktu, perhitungan cost and benefit maskapai, lebih cenderung memihak destinasi semacam Singapura, Malaysia, dan Thailand daripada destinasi lokal seperti .... ah susah menyebutkan satu per satu, terlalu luar biasa banyak :)

Tapi bisa dibilang ironis, karena memang pada kenyataannya bagi sebagian besar orang Indonesia destinasi tiga negara tetangga itu lebih menarik daripada destinasi lokal yang .... ah susah menjelaskannya, terlalu luar biasa indah :)

Saya pernah menggambarkan bahwa Pulau Weh adalah heaven on earth, surga di tengah-tengah dunia. Tapi ternyata - terutama bagi penggila pasir pantai dan pecandu nitrogen tabung selam - semakin ke timur Indonesia semakin banyak heaven yang akan kita temukan.

Kembali ke kalimat Dante di atas, “begins in hell” itu sepertinya sudah saya alami sendiri. Ambil contoh waktu saya berangkat ke Wakatobi bulan Mei lalu, begini gambaran bagaimana nerakanya.

Wakatobi adalah sebuah kabupaten muda hasil pemekaran dari kabupaten Bau-bau di Sulawesi Tenggara. Terdiri dari empat pulau besar, Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, saling bertautan membentuk kepulauan cantik di Laut Banda. Wakatobi memiliki salah satu rangkaian coral terpanjang di dunia (memanjang dari Wangi-wangi sampai Tomia) hingga menjadikannya salah satu destinasi penyelaman dan penelitian bawah laut kelas dunia bersama Raja Ampat dari timur Indonesia.

Map Wakatobi - sumber: indonesiatravelling.com

Untuk menuju ke Wakatobi bisa melalui 2 jalur. Asumsikan berangkat dari Jakarta, jalur pertama yaitu menuju Makassar lebih dulu lalu dilanjutkan dengan pesawat ke Bau-bau. Dari Bau-bau lanjut lagi dengan kapal ke Kabupaten Wakatobi via Wangi-wangi, Kaledupa atau langsung ke Tomia.

Jalur kedua yaitu dari Makassar lanjut terbang ke Kendari. Nah dari Kendari bisa dengan pesawat ke Wangi-wangi, atau dengan kapal langsung ke Tomia. Hanya saja pesawat dari Kendari ke Wangi-wangi ini cuma beroperasi 3 kali seminggu.

Jalur ketiga berlaku kalau kalian kelebihan uang dan kurang kerjaan, jalur bisa ditempuh dari Jakarta via Singapura, lalu ke Jakarta lagi, lanjut ke Makassar, Malaysia dulu, baru ke Makassar lagi, dan lanjut apakah mau meneruskan jalur 1 atau jalur 2. Ingat, syarat utama hanya kalau kalian kelebihan uang dan kurang kerjaan.

Terus, bagian mana yang menggambarkan “hell”-nya ? Memang belum. Berikut ini bagian nerakanya yang saya urutkan secara kronologikal.

(FYI, saya memakai jalur 1, dengan mix match penerbangan Air Asia, Merpati, dan Wings Air)
  1. Tiga hari sebelum hari H saya baru dikasih tahu buddy saya kalau penerbangan Merpati dari Makassar ke Bau-bau yang awalnya jam 13.00 WITA dipindah ke jadwal penerbangan pagi jam 9.30 WITA, tanpa pemberitahuan resmi dari pihak Merpati !
  2. Sedangkan tiket Air Asia saya dari Jakarta akan sampai di Makassar jam 10.00 WITA. Berarti nggak mungkin saya pindah ke penerbangan pagi Merpati. Akhirnya saya konfirmasi ke pihak Merpati dan mereka bilang memang fix dipindah ke jadwal penerbangan pagi. Dafuuuq !
  3. Desperately, saya mengajukan cancel dan refund tiket Merpati saya. Lalu saya ganti dengan penerbangan Wings Air jam 16.00 WITA dari Makassar ke Bau-bau. Harga Merpati 330k, harga Wings Air 520k, jadi belum berangkat pun saya udah tekor 190k secara matematis.
  4. Sampai sekarang refund tiket Merpati (yang dijanjikan 3 hari kelar) belum masuk rekening juga.
  5. Penerbangan Wings Air dari Makassar ke Bau-bau yang seharusnya berangkat pukul 16.00 WITA, ditunda sampai pukul 05.00 WITA hari berikutnya ! Dengan alasan cuaca di Bau-bau nggak memungkinkan pesawat untuk mendarat. Padahal saya udah di bandara dari jam 10.00 WITA, nasiib..nasibb..
  6. Nggak ada ganti rugi material dari pihak Wings/Lion Air. Penumpang cuma dapat penginapan di hotel transit, makan malam, dan beberapa snack. Semua serba minimalis.
  7. Kapal dari Bau-bau menuju Tomia ada dua pilihan. Kapal kayu berangkat malam langsung ke Tomia atau speed boat berangkat siang tapi hanya sampai Wangi-wangi dan harus pindah kapal lainnya. Waktu saya tanya kapal kayu yang langsung ke Tomia, ternyata mereka nggak ada pelayaran untuk hari kamis. Pelayaran paling cepat mungkin hari sabtu malam minggu.
  8. Speed boat di Wakatobi lumayan bagus, kebetulan waktu saya berangkat sedang sepi penumpang. Tapi untuk kapal kayu nya jangan punya bayangan yang telalu tinggi, nyesel nanti.
  9. Ada chaos waktu kami mau pulang dari Bau-bau ke Makassar. Dengan inisatif (based on latest experience) kami sendiri untuk ngecek jadwal keberangkatan ke Merpati, diketahui akhirnya kalau penerbangan kami yang seharusnya pukul 11.00 WITA akan dipindah ke penerbangan hari besok, sekali lagi tanpa pemberitahuan dulu dari Merpati !
  10. Lewat nego-nego dan memelas-melas, penerbangan kami nggak jadi dipindah ke hari besok. Tapi tetap kena delay sampai pukul 14.00 tanpa ganti rugi material, cuma dapet snack kardus seupil ala kondangan.
Ya memang ini serba dilematis terlebih bagi hardcore traveler, atau diver secara khusus. Kecuali bagi turis premium, yang mampu booking paket diving seharga sekian ratus dollar di Wakatobi Dive Resort (WDR) dan diterbangkan secara eksklusif dengan pesawat punya WDR. Di balik susahnya akses ke Wakatobi, di sana menyimpan jutaan romantisme bawah laut yang belum tentu ada di tempat lain, di dive site lain di dunia.

Dilematisme adalah antara menikmati dan membiarkan kepungan jalan berliku ke dalam surga coral dan makhluk laut, atau menembus kepungan jalan berliku itu dengan komersialisasi dan kemudahan akses yang pada nantinya mungkin akan merusak eksotisme Wakatobi itu sendiri.

Surga memang nggak pernah bohong. Ibarat gadis kecil yang belum tahu banyak tentang dunia, Wakatobi bersembunyi dengan keluguan dan kepolosannya di antara ke-labil-an manusia memperlakukan alam. Di sana alam kelihatan masih lugu, masih polos, coral cantik dengan ikan yang nggak kalah cantik masih bisa dilihat dengan mata bugil dari atas daratan.

Lepas Pantai Pulau Kaledupa

Yaa, walaupun penduduk lokal masih ada juga yang buang sampah di laut. Tapi itu memang problematika moral endemik di Indonesia, maklum-able mungkin.

Oke, kalau kita mau ambil sisi positif dari neraka yang saya alami di atas, berarti lengkap sudah indahnya Wakatobi bersama neraka perjalanannya. Dengan nginap di hotel transit, saya mendapat roommate orang lokal Bau-bau dan lebih dari itu, saya mendapat banyak informasi krusial seputar Bau-bau dan Wakatobi. Tentu saja karena ada kesamaan bahasa pula antara kami berdua, bahasa kopi dan rokok :)

Dengan banyaknya jadwal penerbangan yang tertunda, lamanya waktu tempuh via kapal, dan jauhnya jarak yang harus dilalui, siapa yang bisa menyangkal kalau obrolan dengan travel buddy jadi semakin hangat ?

Waktu yang hampir setengah hari dihabiskan di atas kapal, kita harusnya bisa memahami bagaimana Tuhan membuat semuanya tampak berkelas. Dengan catatan nggak hujan, nggak badai, dan nggak mabuk laut, matahari tenggelam di garis lautan di depan mata bukankah itu sangat berkelas ? Pulau yang terlihat jauh, dengan gumpalan awan sebagai selimutnya, seperti ketika Di Caprio memandangi pulau misteriusnya di Shutter Island, bukankah itu juga sangat berkelas ?

Rainbow Gate

Dan rasakan angin lautnya (tapi jangan keterusan, takut masuk angin terus mabuk laut, ngerepotin temen), di atas dek kapal, dan kalau kalian beruntung (yang pada saat itu saya enggak) kadang segerombolan lumba-lumba iseng bersaing dengan lajunya kapal. Itu kata orang Tomia yang saya tanya, mereka biasanya muncul pagi sampai siang hari.

Pulang dari Wakatobi itu ibarat mendapat ijazah kelulusan kuliah. Nerakanya adalah waktu kuliah, walau bisa kita ambil banyak sisi positifnya. Yang ditunggu-tunggu adalah wisuda, dengan kata lain itu adalah puncak perjalanan ke Wakatobi. Lalu setelah ijazah di tangan, nothing but reality, nothing but goodbye.

Rasanya kapanpun, tanggal berapapun, hari apapun bukan saat yang tepat untuk pulang dari Wakatobi.

Dan saya, jika harus merasa dilematis, akan lebih memilih membiarkan Wakatobi dengan introversi-nya kepada dunia luar daripada mengobral keperawanannya untuk dijamah atas nama memajukan pariwisata Indonesia.



Pulau Wangi-wangi

Nice Pic :)

ATR dari dan ke Bau-bau

Pasar Malam di Wanci

Masih di Lepas Pantai Pulau Kaledupa
Awesome

Paradise

Bukan Cuma Underwater-nya Yang Luar Biasa :)


A presto, stupendo !

No comments:

Post a Comment

say whatever..